BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Asal Usul Suku Asmat
Dari bahan-bahan yang dikumpulkan
oleh Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda, orang-orang
Asmat mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripitsy (Sang Pencipta).
Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu
namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia
diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam.
Sehingga terjadi perkelahian yang akhirnya ia dapat membunuh buaya tersebut,
tetapi ia sendiri luka parah. Ia kemudian terbawa arus dan terdampar di tepi
sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang
merawatnya sampai ia sembuh kembali.
Kemudian ia
hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun
sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya
sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang
ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah
dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib,
patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka
menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan
kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits terus
mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang
dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat
seperti saat ini.
1.2 Lokasi
Suku Asmat
Suku Asmat
berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih
merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya Irian
jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah administratif
Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-Erma,
Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru,
yaitu kabupaten Asmat). Batas-batas geografi daerah tempat dimana suku Asmat
dahulu tinggal adalah sebelah utara dibatasi pegunungan dengan puncak-puncak
bersalju abadi, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah timur
berbatasan dengan Sungai Asewetsy, sebelah barat berbatasan dengan Sungai
Pomats. Pertemuan Sungai Pomats, Undir (Lorentz), dan Asewetsy,bersama-sama
kemudian menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir
Sungai Asewetsy terletak Agats, tempat kecamatan Agats, salahs atu dari empat
kecamatan yang membentang di wilayah Asmat. Batasan-batasan alamiah inilah yang
melindungi orang-orang Asmat dari serangan luar. Pada masa Perang Dunia II,
daerah tersebut merupakan semacam daerah yang tak bertuan di antara wilayah
kekuasaan tentara Jepang di sebelah barat dan tentara Australia di sebelah
timur.
1.3 Ciri-Ciri Fisik Suku Asmat
Bentuk tubuh
orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang berdiam di pegunungan tengah
atau di bagian pantai lainnya. Tinggi badan kaum laki-laki antara 1,67 hingga
1,72 meter, sedangkan kaum perempuan tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter.
Ciri-ciri bagian tubuh lainnya adalah bentuk kepala yang lonjong
(dolichocephalic), bibir tipis, hidung mancung, dan kulit hitam. Orang Asmat
pada umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk berjalan jauh, oleh karena itu
betis mereka terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat mereka mendayung dengan
posisi berdiri sehingga otot-otot tangan dan dadanya tampak terlihat tegap dan
kuat. Tubuh kaum perempuan kelihatan kurus karena banyaknya perkerjaan yang
harus mereka lakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem
Religi dan Upacara Keagamaan
Suku bangsa
Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turundari dunia gaib yang
berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Dalam
keyakinan orang Asmat, dewa nenek moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu
tempat yang jauh di pegunungan. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam
di Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal
manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan.
1. Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik
terutama bagi keturunannya
2. Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa
jenis tertentu
3. Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol
1) Sistem Upacara
Kehidupan orang Asmat banyak diisi
oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh komuniti desa yang
selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
a. Mbismbu (pembuat tiang)
b. Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
c. Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
d. Yamasy pokumbu (upacara perisai)
e. Mbipokumbu (Upacara Topeng)
2) Upacara
Kematian
Orang Asmat tidak
mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka,
kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka
percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya.
Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka
tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke
alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat
mendalam bagi masyarakat Asmat.
Mayat
orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang
telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang
belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala
diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang
meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal
tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu
diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8
meter. Saat
ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan
beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki
dikubur tanpa menggunakan pakaian sedangkan jenazah wanita dikubur dengan
menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka
jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa
nisan. Dimanapun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan
kuburannya.
2.2 Sistem
Kemasyarakatan
Dalam
kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Kaum
laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan
selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh
kaum perempuan. Secara umumnya, kaum perempuan yang bertugas melakukan
pencarian bahan makanan dan menjaring ikan di laut atau di sungai. Sedangka
kaum laki-laki lebih sibuk dengan melakukan kegiatan perang antar clan atau
antar kampung. Kegiatan kaum laki-laki juga lebih terpusat di rumah bujang. Dasar kekerabatan
masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau kadang-kadang poligini, yang tinggal
bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang
sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga
yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah
menempati rumah keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah
menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu). Tsyem berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata dan peralatan berburu,
bercocoktanam, dan menangkap ikan. Suku bangsa Asmat mengenal rumah panggung
Yew seluas 10 x 15 meter. Fungsinya sebagai rumah keramat dan untuk upacara
keagamaan. Yewini pada umumnya di kelilingi oleh 10 – 15 tsyem dan rumah
keluarga Luas.
Masyarakat Asmat mengenal sistem kemasyarakatan disebut Aipem. Pemimpin
Aipem biasanya mengambil prakarsa untuk menyelenggarakan musyawarah guna
membicarakan suatu persoalan atau pekerjaan.Syarat untuk
dapat dipilih menjadi pemimpin Aipem yaitu harus orang-orang yang pandai
berkelahi, kuat dan bijaksana. Sistem kekerabatan
orang Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur pernikahan berdasarkan
prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan
sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan
pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan ditarik secara patrilineal
(garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah yang virilokal.
Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap
di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Pernikahan seorang anak
dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua orang tua kedua belah pihak,
tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan biasanya dilakukan oleh pihak
kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian jodoh, mereka juga mengenal kawin
lari, yang artinya seorang laki-laki melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya
berakhir dengan pertikaian dan pembunuhan. Perkawinan dalam
masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara
perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang
telah diatur (perse tsyem).
2.3 Sistem
Pengetahuan
Sistem
pengetahuan yang dimiliki oleh suku Asmat adalah sebagai berikut :
2.3.1 Pengetahuan mengenai alam sekitar
Orang
Asmat berdiam di lingkungan alam terpencil dan ganas dengan rawa-rawa berlumpur
yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu dan lainnya. Perbedaan pasang dan surut
mencapai 4-5 meter. Pengetahuan itu dimanfaatkan oleh orang Asmat untuk
berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu pasang surut, orang
berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang
naik.
2.3.2 Pengetahuan mengenai alam flora dan fauna
di daerah tempat tinggal
Pohon
sagu banyak tumbuh di daerah dimana orang Asmat tinggal. Oleh karena itu,
makanan pokok orang Asmat adalah sagu dengan makanan tambahan seperti ubi-ubian
dan berbagai jenis daun-daunan. Mereka juga memakan berbagai jenis binatang
seperti, ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi hutan, burung, telur ayam hutan,
dan ikan. Sagu diibaratkan sebagai wanita. Kehidupan dianggap keluar dari pohon
sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim ibu. Selain itu, gigi-gigi anjing
yang telah mati biasa digunakan sebagai perhiasan.
2.3.3 Pengetahuan mengenai zat-zat, bahan mentah,
dan benda-benda dalam lingkungannya
Orang-orang
Asmat hanya mengenal 3 warna dalm kehidupannya, yaitu warna merah, putih, dan
hitam. Warna merah didapatkan dari campuran tanah merah dengan air. Untuk warna
putih, orang Asmat membakar semacam kerang yang kemudian ditumbuk dan dicampur
dengan air. Sedangkan warna hitam diperoleh dengan cara mencampurkan arang
dengan air. Ketiga warna ini biasa terlihat pada hasil ukiran dan juga cara
berhias yang dilakukan oleh orang-orang Asmat.
2.3.4 Pengetahuan mengenai sifat dan tingkah laku
(kebutuhan) antar manusia
Tempat
tinggal suku Asmat yang berada di daerah dataran rendah membuat mereka perlu
mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya. Seperti misalnya batu sangat langka
di daerah-daerah lumpur berawa-rawa tempat dimana suku Asmat tinggal. Oleh
karena itu, mereka telah mengatahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh
masyarakat merekas sendiri maupun masyarakat di luar daerahnya. Untuk mengatasi
kesulitan tersebut, suku Asmat telah mengenal sistem barter. Mereka telah biasa
melakukan barter dengan masyarakat lain yang tinggal di daerah dataran tinggi
untuk mendapatkan alat-alatseperti kapak, batu, dsb yang memudahkan mereka
dalam kehidupannya.
2.3.5 Pengetahuan mengenai ruang dan waktu
Untuk memeperoleh bahan makanan di hutan, orang-orang
Asmat pun berangkat pergi pada hari Senin dan kembali ke kampung pada hari
Sabtu. Selama di hutan, mereka tinggal di rumah sementara yang bernama bivak. Apabila
orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum diambil pada saat
air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut disimpan dalam
tabung bambu yang diperoleh dari hasil penukaran dengan penduduk desa di
lereng-lereng gunung.
2.4 Bahasa
Bahasa-bahasa
yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok bahasa yang oleh para ahli
linguistik disebut sebagai Language of the Southern Division, bahasa-bahasa
bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh
C.L Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa Irian
(Papua) Non-Melanesia. Sistem perilaku masyarakat suku asmat masih terpengaruh oleh bahasa
leluhur mereka. Setan yang tidak membahayakan hidup ilmu sihir hitam juga
banyak dipraktikan di wilayah masyarakat Asmat, terutama oleh kaum wanita.
Seseorang yang mempunyai kekuatan ini dapat menyakiti atau membunuh manusia.
Ilmu ini biasanya diturunkan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya untuk
senjata perlindungan diri.
Bahasa-bahasa
tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir sungai dan Asmat
hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli bahasa dibagi menjadi bahasa
Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub kelompok Pantai Barat Laut atau pantai
Flamingo, seperti misalnya bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub
kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina, seperti misalnya bahasa Batia dan
Sapan.Sedangkan Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan
Kaimok.
Istilah-istilah bahasa yang digunakan suku asmat :
1. Aipmu sene = rumah
bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke hilir
2. Cicemen = ukiran pada
ujung perahu lesung panjang melambangkan anggota
keluarga yang telah meninggal
keluarga yang telah meninggal
3. Bivak = rumah di hutan
yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara
4. Fumiripits = Sang
pencipta
5. Tinis = perkawinan yang
direncanakan
6. Wow-ipits = pemahat
Asmat
7. Bis = patung leluhur
8. Persem = perkawinan
yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia antara seorang pemuda dan pemudi
yang kemudian diakui sah oleh kedua orang tua masing-masing
2.5
Kesenian
2.5.1
Seni Ukir/Pahat
Ragam
kesenian suku Asmat yang banyak dilakukan adalah seni ukir/pahat. Benda-benda
kesenian hasil ukiran Asmat yang menarik adalah perisai-perisai, tiang-tiang
mbis (patung bis/ leluhur), dan tifa. Aneka warna gaya kesenian Asmat
berdasarkan bentuk dan warna dapat diklasifikasikan ke dalam 4 daerah :
a.
Gaya seni Asmat hilir maupun hulu sungai-sungai yang mengalir ke dalam Teluk
Flamingo dan arah pantai Casuarina (Central Asmat).
Benda
seni yang termasuk dalam golongan ini, telah terkenal sejak jaman ekspedisi
militer Belanda pada tahun 1912. Ciri-ciri perisai dalam golongan ini adalah
berbentuk persegi panjang dan agak menyempit ujungnya. Di ujung atas ada hiasan
ukiran phallus atau gambar burung tanduk atau topeng. Motif-motif ukiran dalam
golongan ini juga terdiri dari motif burung kakatua, burung kasuari, kepala
ular, kaki kepiting, dll.
Hiasan
ukiran simbolis ini juga terdapat di ujung perahu lesung, di bagian belakang
perahu, datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah, dll.
b. Gaya Seni
Asmat Barat Laut (Northwest Asmat)
Perisai
pada golongan ini berbentuk lonjong dengan bagian bawah yang agak melebar dan
biasanya lebih padat dari pada perisai-perisai lainnya. Bagian kepala terpisah
dengan jelas dari bagian lainnya dan berbenruk kepala kura-kura atau ikan.
Kadang-kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepal, sedangkan hiasan bagian
badan berbentuk musang terbang, katak, kepala burung tanduk, ualr, dll.
c. Gaya seni
Asmat Timur (Citak)
Kekhususan
seni pada golongan ini tampak pada bentuk hiasan perisai yang biasanya
berukuran sangat besar, kadang-kadang sampai melebihi tinggi orang Asmat yang
berdiri tegak. Bagian-bagian atasnya tidak terpisah secara jelas dari bagian
badan perisai dan sering terisi dengan garis-garis hitam atau merah yang diberi
titik-titik putih.
d. Gaya seni
Asmat daerah sungai Brazza
Perisai
pada golongan ini hampir sama besar dan tinggi dengan perisai pada golongan
Asmat Timur. Bagian kepala juga biasanya terpisah dari bagian badannya.
Walaupun motif sikulengan sering dipakai untuk hiasan perisai, motif yang biasa
digunakan adalah motif geometri, lingkaran, spiral, siku-siku, dll.
2.5.2 Seni Musik
Orang
Asmat memiliki alat musik khusus yang biasa digunakan dalam upacara-upacara
penting. Tifa adalah alat musik yang paling umum digunakan oleh masyarakat
Asmat dalam kehidupannya. Tifa-tifa ini biasa diukir dan dipahat oleh wow-ipits
setempat.
2.5.3 Seni Tari
Orang-orang
Asmat kerapkali melakukan gerakan-gerakan tarian tertentu saat upacara sakral
berlangsung. Adanya gerakan-gerakan erotis dan dinamis yang dilakukan oleh kaum
laki-laki dan perempuan di depan rumah bujang (Je) dalam rangka upacara mbis. Jenis tarian-tarian yang kita kenal di Suku Asmat : Tarian ular
menghormati Maapuru puau, Tari Manaweang , Tejalu Meto’e, Tarian Iyaphae Oophae
, Tarian akhokoy.
2.6 Sistem
Mata Pencaharian
Mata
pencaharian hidup orang Asmat adalah
meramu sagu, berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah babi hutan), dan
mencari ikan di sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga terkadang
menanam buah-buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka juga dengan sengaja
menanamnya di kebun-kebun ekcil yang sederhana berada di tengah-tengah hutan.
Orang Asmat hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon sagunya lagi, lebih menggantungkan
hidupnya pada kebun-kebunnya. Dahulu,
orang Asmat hidup di hutan-hutan, menetap di suatu tempat untuk beberapa bulan,
kemudian pidanh mencari tempat baru bila bahan makanan di sekitarnya sudah
berkurang. Hidup di hutan berarti hidup bebas, maka hal inilah yang membuat
mereka terkadang kembali ke hutan meninggalkan kampun yang telah disediakan.
Hari Senin mereka biasa berangkat ke hutan dan kembali ke kampung pada hari
Sabtu. Sebagian besar waktu dilewati di hutan dengan mendirikan rumah besar, yang
disebut dengan Bivak.
Dengan
didirikannya perkampungan-perkampungan bagi orang-orang Asmat, maka kehidupan
mereka yang seminomad itu mulai berubah. Biasanya, kampung yang satu berjauhan
dengan kampung yang lain. Hal ini disebabkan adanya perasaan takut akan
diserang musuh yang sudah tertanam di pikiran orang-orang Asmat. Populasi suatu
kampung biasanya terdiri dari 100 hingga 1000 jiwa. Kampung-kampung tersebut
terdiri dari beberapa rumah keluarga dan rumah bujang. Tiap-tiap kampung
memiliki daerah sagu dan daerah ikan yang merupakan sumber makanan bagi seluruh
warganya. Oleh karena itu, berburu dan menangkap ikan merupakan kesibukan pokok
masyarakat Asmat. Dalam
masyarakat Asmat, kaum wanita yang bekerja mencari dan mengumpulkan bahan makan
serta mengurus anak-anak. Kebiasaan ini sudah membudaya dalam kehidupan mereka
karena kaum pria dahulunya sering disibukkan dengan berperang. Pada dasarnya,
kegiatan kaum laki-laki terpusat di dalam rumah bujang yang dimana mereka
berkumpul untuk mendengarkan ritual-ritual yang berhubungan dengan peperangan
dahulu serta menceritakan dongeng para leluhur.
2.7
Teknologi dan Peralatan
2.7.1 Alat-Alat Produktif
Orang
Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka
telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman
daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Kapak batu merupakan
benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa
didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama sesuai dengan nama
leluhurnya, bisanya nama nenek dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari
luar, orang Asmat sekarang sudah menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit
siput diganti dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan
kulit siput.
2.7.2
Senjata
Perisai
digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah musuh
dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Senjata ini
terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yang lunak dan ringan.Tombak pada
masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras seperti kayu besi atau kulit pohon
sagu. Ujungya yang tajam
dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung
kasuari.
2.7.3
Makanan
Orang-orang
Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat pada
daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh karena itu,
orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka. Berapa jenis
makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang Asmat adalah Sagu sebagai makan
pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh masyarakat Asmat. Untuk mendapatkan
makanan dari pohon sagu, pohon itu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian,
dan isinya ditumbuk hingga hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam
suatu saluran air sederhana yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan.
Tepung sagu yang diperoleh diolah menjadi adonan yang beratnya kira-kira 5
kilogram. Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semipadat
supaya mudah dibawa dan disimpan sampai diperlukan. Sebagai makanan
tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat sagu yang didapatkan di dalam
batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu yang merupakan sumber protein
dan lemak adalah makanan yang lezat dan bernilai tinggi bagi mereka. Apapun yang ditemukan di hutan, seperti babi hutan,
kuskus, burung, dan segala jenis daun-daunan yang dapat dimakan, dikumpulkan
sebagai tambahan makanan pedamping sagu.
2.7.4
Tempat Tinggal
Menurut
tradisi orang Asmat, dalam sebuah kampung terdapat 2 macam bangunan, yaitu
rumah bujang dan rumah keluarga. Rumah bujang (jew) ditempati oleh pemuda-pemuda yang
belum menikah dan tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Rumah
yang terdiri dari satu ruangan ini dibangun di atas tiang-tiang kayu dengan
panjang 30-60 meter dan lebar sekitar 10 meter. Rumah ini biasa digunakan untuk
merencanakan suatu pesta, perang, dan perdamaian. Pada waktu senggang, rumah
ini digunakan untuk menceritakan dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap clan
memiliki rumah bujang sendiri. Sedangkan
rumah keluarga, biasanya didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri dari
seorang ayah, seorang atau beberpa istri, dan anak-anaknya. Setiap istri
memiliki dapur, pintu, dan tangga sendiri. Lima tahun sekali, rumah-rumah
tersebut diperbaharui oleh kaum pria. Perumahan yang dibangun menyerupai rumah
panggung, kira-kira satu setengah meter dari atas tanah. Atap rumah terbuat
dari anyaman daun sagu, gaba-gaba sagu membentuk dinding rumah, dan lantai
tertutupi tikar yang terbuat dari daun sagu juga.
2.7.5 Alat
Transportasi
Masyarakat Asmat mengenal perahu
lesung sebagai alat transportasinya. Pembuatan perahu dahulunya digunakan untuk
persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu
tersebut dicoba menuju ke tempat musuh dengan maksud memanas-manasi musuh dan
memancing suasana musuh agar siap berperang. Selain itu, perahu lesung juga
digunakan untuk keperluan pengangkutan dan pencarian bahan makanan. Setiap 5
tahun sekali, orang-orang Asmat membuat perahu-perahu baru. Walaupun daerah
Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun pembuatan perahu mereka memilih
jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu banyak. Yang digunakan adalah
kayu kuning, ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut yerak. Ada
2 macam
perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yang tidak terlalu
besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu clan
biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter. Dayung terbuat dari
kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi. Karena dipakai sambil berdiri, maka
dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh
setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan
rawa-rawa.
DAFTAR PUSTAKA
Giovani,
Marsela. Etnografi Suku Asmat.
Available at : http://marselagiovani89.blogspot.co.id/2010/04/etnografi-suku-asmat.html
Azizah, Zulfa. Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Suku Asmat.
Available at : http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-asal-usul-dan-kebudayaan-suku-asmat.html
Pethaks, Toya. Suku Asmat. Available at : http://toyapethaksadventuresteam.blogspot.co.id/2011/12/suku-asmat.html
Setiadi, Restu.
Unsur-Unsur Kebudayaan Suku Asmat. Available
at : http://restusangidaman.blogspot.co.id/2015/10/unsur-unsur-kebudayaan-suku-asmat.html