SENGKETA
BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA
“SURGA
YANG DIPEREBUTKAN”
Oleh
: Tri Ibnu Pamungkas
1510631180152
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki
batas wilayah laut berdasarkan pada UNCLOS (United Nations Convension on the
Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang selanjutnya diratifikasi
oleh pemerintah menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki
sekitar 17.506 pulau dengan luas 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Dari
pulau-pulau tersebut terdapat beberapa pulau terluar yang berbatasan langsung
dengan negara tetangga. Pada umumnya keberadaan kepulauan merupakan potensi
Sumber Daya Alam bagi Negara.
Dari berbagai potensi sumber daya alam tersebut
adalah Blok Ambalat. Ambalat terletak di laut Sulawesi atau Selat Makasar milik
dengan luas 15.235 kilometer persegi, diperkirakan mengandung kandungan minyak
dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.[1]
Wilayah Blok Ambalat merupakan milik Indonesia, hal ini berdasarkan bukti
penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal
27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur yang kemudian diratifikasi
pada tanggal 7 November 1969.[2] Hal
inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah kepemilikan
Indonesia. Blok ini telah lama diperebutkan oleh Indonesia maupun Malaysia
yang saling mengklaim bahwa pada dasarnya Blok Kepulauan Ambalat
merupakan/berada di dalam naungan teritori masing-masing negara tersebut.
Sengketa antara Indonesia dan Malaysia pertama kali muncul pada tahun 1979 saat
Malaysia menerbitkan sebuah peta teritori dengan memasukkan Blok Ambalat di
bawah teritori kedaulatan Malaysia itu sendiri. Melihat hal ini, Indonesia
sebagai negara yang merasa memiliki hak sepenuhnya atas Blok Ambalat pun
kemudian mengangkat sengketa ini, dan menjadi sengketa berkepanjangan hingga
sekarang.
Berdasarkan undang-undang Essensial Powers Ordonance
yang di sahkan pada bulan Agustus 1969, Malaysia menetapkan luas territorial
laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis dasar dengan menarik garis
pangkal lurus menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut
Teritorial dan Contiguous Zone. Berdasarkan undang-undang tersebut selanjutnya
Malaysia mendeklarasikan secara sepihak Peta Malaysia 1979 pada tanggal 21
Desember 1979. Selanjutnya Pada bulan Desember 1979 Malaysia mengeluarkan Peta
Baru dengan batas terluar klaim maritim yang sangat eksesif di Laut Sulawesi.
Peta tersebut secara jelas memasukkan kawasan dasar laut sebagai bagian dari Malaysia
yang kemudian disebut Blok Ambalat oleh Indonesia. Hanya Malaysia sendiri yang
mengetahui garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas wilayahnya.
Dalam pergaulan internasional suatu negara harus memberitahukan titik-titik
pangkal dan garis pangkal laut teritorialnya agar negara lain dapat mengetahuinya.[3] Tindakan
Malaysia tersebut pada dasarnya sangatlah bertentangan dengan perjanjian yang
sebelumnya telah dilakukan serta diratifikasi pada tahun yang sama oleh
Malaysia dengan Indonesia, di mana dalam Perjanjian Tapal Batas Kontinen
Indonesia-Malaysia pulau-pulau terluar atau yang berada di perbatasan masih
dalam pembicaraan lebih jauh. Pada saat itu, selain Blok Ambalat, sebenarnya
Malaysia juga telah memasukkan beberapa pulau di daerah perbatasan ke dalam
teritorinya tanpa bernegosiasi dengan negara-negara tetangganya, sehingga peta
teritori yang diterbitkan Malaysia pun mengundang kontroversi serta kecaman
dari negara-negara lainnya, meliputi Singapura, Filipina, Cina, Vietnam,
Thailand, dan Inggris, yang merepresentasikan Brunei Darussalam.
Ditinjau dari hukum
laut internasional, Malaysia bukanlah negara Kepulauan oleh karena itu tidak
dibenarkan menarik garis pangkal demikian sebagai penentuan batas laut wilayah
dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya
dibenarkan menarik garis pangkal normal (biasa) dan garis pangkal lurus apabila
memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu terdapat deretan pulau atau karang di
hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai ikatan kedekatan dengan wilayah
daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum perairan pedalaman sesuai dengan
pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone dan sesuai
dengan pasal 7 KHL 1982.[4]
Berdasarkan United Nations Convention on
the Law of the Seas (UNCLOS) pada tahun 1982, Blok Ambalat secara resmi
masuk ke dalam wilayah teritori dan kedaulatan Indonesia. Di mana pada Pasal 4,
UNCLOS mengakui wilayah teritori yang mencakup 200 mil dari garis batas, di
mana Blok Ambalat sepenuhnya masuk ke dalam wilayah Indonesia.[5]
Hal ini juga pada dasarnya diakui secara internasional dengan proposal
Indonesia mengenai Wawasan Nusantara itu sendiri. Atas dasar inilah, pemerintah
Indonesia merasa bahwa pada dasarnya Blok Ambalat adalah wilayah Indonesia, dan
hal ini telah diakui secara de jure.
Seiring perjalanan,
wacana yang kemudian berkembang adalah bagaimana pada dasarnya kedaulatan
teritori bukanlah inti permasalahan dari sengketa panas yang tengah dialami
oleh Indonesia dengan Malaysia, melainkan tidak lain didorong oleh faktor
ekonomis yang sangat menggiurkan itu sendiri. Blok Ambalat pada dasarnya
diperkirakan memiliki cadangan minyak yang luar biasa banyaknya, di mana
prediksi menyatakan bahwa Blok Ambalat dapat bertahan selama 30 tahun
eksplorasi, meliputi 764 juta barel minyak dan dan 1,4 triliun feet3 gas bumi.[6]
Bahwa pada dasarnya perebutan wilayah yang dilakukan oleh kedua negara tidak
hanya terbatas pada perebutan wilayah, melainkan juga perebutan faktor ekonomis
atau sumber daya alam yang terkandung di dalamnya tersebut.
Permasalahan
di antara Indonesia dengan Malaysia kemudian mengeruh setelah kedatangan Royal
Dutch Shell, sebuah perusahaan minyak dari negara Inggris-Belanda, di Malaysia,
yang kemudian menamakan Blok Ambalat dengan inisial ND6 dan ND7. Melalui
perusahaan minyak nasionalnya Petronas, Malaysia memberikan konsesi eksplorasi
sumber daya minyak terhadap Shell pada tanggal 16 Februari 2005. Padahal di
sisi lain, Indonesia yang memiliki hak atas Blok Ambalat ini, telah memberikan
hak atau konsesi eksplorasi terhadap ENI, perusahaan Italia atas Blok Ambalat,
pada tahun 1999. Sedangkan untuk daerah Ambalat Timur, Indonesia telah
memberikan hak serupa kepada perusahaan minyak Amerika Serikat yakni UNOCAL
pada tahun 2004.[7]
Mengetahui hal ini, pemerintah Indonesia pun merespon tindakan ini sebagai
sebuah pelanggaran kedaualatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu
sendiri. Pemerintah Indonesia pun kemudian melancarkan protes terhadap
pemerintah Malaysia atas tindakan pengklaiman secara sepihak atas Blok Ambalat.
Blok
Ambalat secara strategis sangat penting karena potensi Sumber daya alam di
dalamnya. Meskipun nilai blok itu strategis, namun dimensi nasionalisme dalam
isu ini di Indonesia lebih menonjol. Berdasarkan Asumsi dasar dalam teori
Realisme yaitu (1) pandangan pesimis atas sifat manusia (state actor); (2)
keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa
konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang (zero sum gains
dan hubungan internasional yang anarki); (3) menjunjung tinggi nilai-nilai
keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara (national interest and survive);
(4) Skeptisme dasar akan kemajuan dalam politik internasional seperti yang
terjadi dalam kehidupan politik domestik.
Kasus
Ambalat hubungannya dengan ekonomi dan geo-politik Internasional. Perekonomian
internasional lebih merupakan arena konflik antara kepentingan nasioanal yang
bertentangan dari pada sebagai wilayah kerjasama yang saling menguntungkan.
Persaingan ekonomi antar negara adalah permainan Zero-sum dimana keuntungan
suatu negara merupakan kerugian bagi negara lain. Negara-negara harus khawatir
mengenai keuntungan ekonomi relatif sebab kekayaan material yang di kumpulkan
oleh suatu negara dapat menjadi basis bagi kekuatan politik –militer yang dapat
di gunakan untuk melawan negara lain
Berdasarkan
pandangan realisme tersebut membuat Isu ini menarik perhatian masyarakat
Indonesia dan memicu gelombang anti Malaysia di semua tingkatan masyarakat dari
rakyat kecil hingga elit politik. Dalam isu ini, masyarakat Indonesia secara
kompak menyuarakan penentangannya atas klaim Malaysia, sehingga mengingatkan
kembali slogan propaganda pada era Sukarno, ‘Ganyang Malaysia’.
Sedangkan
Dalam perspektif geo-politik Malaysia, Kasus Ambalat merupakansatu persoalan
strategis terkait sumberdaya alam. Didasarkan pada asumsi tersebut maka
permasalahan Blok Ambalat tidaklah sekedar dilihat dari perspektif konflik
batas laut (tumpang tindih yurisdiksi). Konflik hanya merupakan tujuan antara
untuk memperoleh tujuan final berupa akses penguasaan terhadap SDA di Ambalat
demi menopang kepentingan nasionalnya
Berdasarkan
asusmsi kedua negara, dapat di simpulkan bahwa menurut pandangan realisme
menilai bahwa hubungan bilateral sebuah negara hanya akan menimbulkan konflik
antar kedua negara. Selain itu, masing – masing negara juga hanya melihat kasus
tersebut berdasarkan kepentingan dari negaranya masing – masing.
Cara-cara
yang bisa dilakukan menyelesaikan konflik ambalat antara Indonesia dengan
Malaysia bisa melakukan negoisasi, pencarian fakta, jasa-jasa baik, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan internasional.
Opini
:
Melihat ambalat yang begitu
diperebutkan oleh kedua negara yaitu Indonesia dan Malaysia, sepertinya setiap
negara mempunyai kepentingan nya masing-masing karena kita ketahui begitu
melimpahnya sumber kekayaan alam disana. Belum ditentukannya
perbatasan tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi
menyebabkan banyak sengketa teritorial utama antara Indonesia dan Malaysia
terjadi di sana, termasuk klaim kedua negara atas Blok Ambalat yang kaya sumber
daya mineral.Indonesia dan Malaysia telah melakukan berbagai usaha
mendefinisikan perbatasan maritim Indonesia-Malaysia sejak 1967, namun berkali-kali
Malaysia membuat peta perairan teritorialnya yang memasukan berbagai wilayah
yang juga diklaim Indonesia.
Konflik
Blok Ambalat di antara Indonesia dan Malaysia mulai tereskalasi ketika sebuah
MNC bernama Royal Dutch Shell yang mana merupakan sebuah joint-company antara Inggris dan Belanda yang bergerak di
bidang minyak dan gas bumi menandatangani kontrak eksplorasi minyak di
wilayah kepulauan Blok Ambalat yang masih berstatus sengketa. Penandatanganan
kontrak tersebut merupakan sebuah pernyataan tidak langsung bahwa Shell sebagai
salah satu aktor internasional mengakui kedaulatan Malaysia atas Blok Ambalat.
Dengan kata lain, Shell pada konflik ini dapat dikatakan sebagai pihak ketiga
yang memperparah tingkat eskalasi konflik yang terdapat di Ambalat.
[1]Kompas.com,
RI Peringatkan Malaysia Soal Blok
Ambalat, http://nasional.kompas.com/read/2008/ 10/21/22413798/ , diakses
12 Mei 2017 pukul 16:00 WIB.
[2]Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan
Fungsi dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2008, hlm. 357.
[3]
Aziz Ikhsan Bakhtiar, PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA
DIWILAYAH AMBALAT MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL
[4]
Pasal 5
Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun 1958 dan Pasal 7 Konvensi Hukum Laut (KHL)
Tahun
1982.
[5] Yanto Musthofa dan Yophiandi, “Babak Baru
Sengketa Negara Serumpun”, diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/03/08/nrs,20050308-02,id.html, pada tanggal 12 Mei 2017, pukul 17:21
[6] Andi Abdussalam, “News Focus: Malaysia Claims
Ambalat for its Oil Reserves”, diakses dari http://www.antara.co.id/en/view/?i=1244416643&c=FEA&s=, pada tanggal 12 Mei 2017, pukul 17:22
[7] Yanto Musthofa dan Yophiandi, op.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar