Selasa, 16 Mei 2017

SENGKETA BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA


SENGKETA BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA

“SURGA YANG DIPEREBUTKAN”

Oleh : Tri Ibnu Pamungkas

1510631180152


Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki batas wilayah laut berdasarkan pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang selanjutnya diratifikasi oleh pemerintah menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 pulau dengan luas 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Dari pulau-pulau tersebut terdapat beberapa pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Pada umumnya keberadaan kepulauan merupakan potensi Sumber Daya Alam bagi Negara.
Dari berbagai potensi sumber daya alam tersebut adalah Blok Ambalat. Ambalat terletak di laut Sulawesi atau Selat Makasar milik dengan luas 15.235 kilometer persegi, diperkirakan mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.[1] Wilayah Blok Ambalat merupakan milik Indonesia, hal ini berdasarkan bukti penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur yang kemudian diratifikasi pada tanggal 7 November 1969.[2] Hal inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah kepemilikan Indonesia. Blok ini telah lama diperebutkan oleh Indonesia maupun Malaysia yang saling mengklaim bahwa pada dasarnya Blok Kepulauan Ambalat merupakan/berada di dalam naungan teritori masing-masing negara tersebut. Sengketa antara Indonesia dan Malaysia pertama kali muncul pada tahun 1979 saat Malaysia menerbitkan sebuah peta teritori dengan memasukkan Blok Ambalat di bawah teritori kedaulatan Malaysia itu sendiri. Melihat hal ini, Indonesia sebagai negara yang merasa memiliki hak sepenuhnya atas Blok Ambalat pun kemudian mengangkat sengketa ini, dan menjadi sengketa berkepanjangan hingga sekarang.
Berdasarkan undang-undang Essensial Powers Ordonance yang di sahkan pada bulan Agustus 1969, Malaysia menetapkan luas territorial laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial dan Contiguous Zone. Berdasarkan undang-undang tersebut selanjutnya Malaysia mendeklarasikan secara sepihak Peta Malaysia 1979 pada tanggal 21 Desember 1979. Selanjutnya Pada bulan Desember 1979 Malaysia mengeluarkan Peta Baru dengan batas terluar klaim maritim yang sangat eksesif di Laut Sulawesi. Peta tersebut secara jelas memasukkan kawasan dasar laut sebagai bagian dari Malaysia yang kemudian disebut Blok Ambalat oleh Indonesia. Hanya Malaysia sendiri yang mengetahui garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas wilayahnya. Dalam pergaulan internasional suatu negara harus memberitahukan titik-titik pangkal dan garis pangkal laut teritorialnya agar negara lain dapat mengetahuinya.[3] Tindakan Malaysia tersebut pada dasarnya sangatlah bertentangan dengan perjanjian yang sebelumnya telah dilakukan serta diratifikasi pada tahun yang sama oleh Malaysia dengan Indonesia, di mana dalam Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pulau-pulau terluar atau yang berada di perbatasan masih dalam pembicaraan lebih jauh. Pada saat itu, selain Blok Ambalat, sebenarnya Malaysia juga telah memasukkan beberapa pulau di daerah perbatasan ke dalam teritorinya tanpa bernegosiasi dengan negara-negara tetangganya, sehingga peta teritori yang diterbitkan Malaysia pun mengundang kontroversi serta kecaman dari negara-negara lainnya, meliputi Singapura, Filipina, Cina, Vietnam, Thailand, dan Inggris, yang merepresentasikan Brunei Darussalam.
Ditinjau dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah negara Kepulauan oleh karena itu tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian sebagai penentuan batas laut wilayah dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik garis pangkal normal (biasa) dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu terdapat deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone dan sesuai dengan pasal 7 KHL 1982.[4] Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Seas (UNCLOS) pada tahun 1982, Blok Ambalat secara resmi masuk ke dalam wilayah teritori dan kedaulatan Indonesia. Di mana pada Pasal 4, UNCLOS mengakui wilayah teritori yang mencakup 200 mil dari garis batas, di mana Blok Ambalat sepenuhnya masuk ke dalam wilayah Indonesia.[5] Hal ini juga pada dasarnya diakui secara internasional dengan proposal Indonesia mengenai Wawasan Nusantara itu sendiri. Atas dasar inilah, pemerintah Indonesia merasa bahwa pada dasarnya Blok Ambalat adalah wilayah Indonesia, dan hal ini telah diakui secara de jure.
Seiring perjalanan, wacana yang kemudian berkembang adalah bagaimana pada dasarnya kedaulatan teritori bukanlah inti permasalahan dari sengketa panas yang tengah dialami oleh Indonesia dengan Malaysia, melainkan tidak lain didorong oleh faktor ekonomis yang sangat menggiurkan itu sendiri. Blok Ambalat pada dasarnya diperkirakan memiliki cadangan minyak yang luar biasa banyaknya, di mana prediksi menyatakan bahwa Blok Ambalat dapat bertahan selama 30 tahun eksplorasi, meliputi 764 juta barel minyak dan dan 1,4 triliun feet3 gas bumi.[6] Bahwa pada dasarnya perebutan wilayah yang dilakukan oleh kedua negara tidak hanya terbatas pada perebutan wilayah, melainkan juga perebutan faktor ekonomis atau sumber daya alam yang terkandung di dalamnya tersebut.
Permasalahan di antara Indonesia dengan Malaysia kemudian mengeruh setelah kedatangan Royal Dutch Shell, sebuah perusahaan minyak dari negara Inggris-Belanda, di Malaysia, yang kemudian menamakan Blok Ambalat dengan inisial ND6 dan ND7. Melalui perusahaan minyak nasionalnya Petronas, Malaysia memberikan konsesi eksplorasi sumber daya minyak terhadap Shell pada tanggal 16 Februari 2005. Padahal di sisi lain, Indonesia yang memiliki hak atas Blok Ambalat ini, telah memberikan hak atau konsesi eksplorasi terhadap ENI, perusahaan Italia atas Blok Ambalat, pada tahun 1999. Sedangkan untuk daerah Ambalat Timur, Indonesia telah memberikan hak serupa kepada perusahaan minyak Amerika Serikat yakni UNOCAL pada tahun 2004.[7] Mengetahui hal ini, pemerintah Indonesia pun merespon tindakan ini sebagai sebuah pelanggaran kedaualatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Pemerintah Indonesia pun kemudian melancarkan protes terhadap pemerintah Malaysia atas tindakan pengklaiman secara sepihak atas Blok Ambalat.
Blok Ambalat secara strategis sangat penting karena potensi Sumber daya alam di dalamnya. Meskipun nilai blok itu strategis, namun dimensi nasionalisme dalam isu ini di Indonesia lebih menonjol. Berdasarkan Asumsi dasar dalam teori Realisme yaitu (1) pandangan pesimis atas sifat manusia (state actor); (2) keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang (zero sum gains dan hubungan internasional yang anarki); (3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara (national interest and survive); (4) Skeptisme dasar akan kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.
Kasus Ambalat hubungannya dengan ekonomi dan geo-politik Internasional. Perekonomian internasional lebih merupakan arena konflik antara kepentingan nasioanal yang bertentangan dari pada sebagai wilayah kerjasama yang saling menguntungkan. Persaingan ekonomi antar negara adalah permainan Zero-sum dimana keuntungan suatu negara merupakan kerugian bagi negara lain. Negara-negara harus khawatir mengenai keuntungan ekonomi relatif sebab kekayaan material yang di kumpulkan oleh suatu negara dapat menjadi basis bagi kekuatan politik –militer yang dapat di gunakan untuk melawan negara lain
Berdasarkan pandangan realisme tersebut membuat Isu ini menarik perhatian masyarakat Indonesia dan memicu gelombang anti Malaysia di semua tingkatan masyarakat dari rakyat kecil hingga elit politik. Dalam isu ini, masyarakat Indonesia secara kompak menyuarakan penentangannya atas klaim Malaysia, sehingga mengingatkan kembali slogan propaganda pada era Sukarno, ‘Ganyang Malaysia’.
Sedangkan Dalam perspektif geo-politik Malaysia, Kasus Ambalat merupakansatu persoalan strategis terkait sumberdaya alam. Didasarkan pada asumsi tersebut maka permasalahan Blok Ambalat tidaklah sekedar dilihat dari perspektif konflik batas laut (tumpang tindih yurisdiksi). Konflik hanya merupakan tujuan antara untuk memperoleh tujuan final berupa akses penguasaan terhadap SDA di Ambalat demi menopang kepentingan nasionalnya
Berdasarkan asusmsi kedua negara, dapat di simpulkan bahwa menurut pandangan realisme menilai bahwa hubungan bilateral sebuah negara hanya akan menimbulkan konflik antar kedua negara. Selain itu, masing – masing negara juga hanya melihat kasus tersebut berdasarkan kepentingan dari negaranya masing – masing.
Cara-cara yang bisa dilakukan menyelesaikan konflik ambalat antara Indonesia dengan Malaysia bisa melakukan negoisasi, pencarian fakta, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan internasional.
Opini :
            Melihat ambalat yang begitu diperebutkan oleh kedua negara yaitu Indonesia dan Malaysia, sepertinya setiap negara mempunyai kepentingan nya masing-masing karena kita ketahui begitu melimpahnya sumber kekayaan alam disana. Belum ditentukannya perbatasan tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi menyebabkan banyak sengketa teritorial utama antara Indonesia dan Malaysia terjadi di sana, termasuk klaim kedua negara atas Blok Ambalat yang kaya sumber daya mineral.Indonesia dan Malaysia telah melakukan berbagai usaha mendefinisikan perbatasan maritim Indonesia-Malaysia sejak 1967, namun berkali-kali Malaysia membuat peta perairan teritorialnya yang memasukan berbagai wilayah yang juga diklaim Indonesia.
Konflik Blok Ambalat di antara Indonesia dan Malaysia mulai tereskalasi ketika sebuah MNC bernama Royal Dutch Shell yang mana merupakan sebuah joint-company antara Inggris dan Belanda yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi menandatangani kontrak eksplorasi minyak di wilayah kepulauan Blok Ambalat yang masih berstatus sengketa. Penandatanganan kontrak tersebut merupakan sebuah pernyataan tidak langsung bahwa Shell sebagai salah satu aktor internasional mengakui kedaulatan Malaysia atas Blok Ambalat. Dengan kata lain, Shell pada konflik ini dapat dikatakan sebagai pihak ketiga yang memperparah tingkat eskalasi konflik yang terdapat di Ambalat.




[1]Kompas.com, RI Peringatkan Malaysia Soal Blok Ambalat, http://nasional.kompas.com/read/2008/ 10/21/22413798/ , diakses 12 Mei 2017 pukul 16:00 WIB.
[2]Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2008, hlm. 357.
[3] Aziz Ikhsan Bakhtiar, PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DIWILAYAH AMBALAT MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL
[4] Pasal 5 Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun 1958 dan Pasal 7 Konvensi Hukum Laut (KHL)
Tahun 1982.
[5] Yanto Musthofa dan Yophiandi, “Babak Baru Sengketa Negara Serumpun”, diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/03/08/nrs,20050308-02,id.html, pada tanggal 12 Mei 2017, pukul 17:21
[6] Andi Abdussalam, “News Focus: Malaysia Claims Ambalat for its Oil Reserves”, diakses dari http://www.antara.co.id/en/view/?i=1244416643&c=FEA&s=, pada tanggal 12 Mei 2017, pukul 17:22
[7] Yanto Musthofa dan Yophiandi, op.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar